Di Indonesia Tidak Ada Peradaban Atlantis
dan Piramida
oleh :
Hardi
Pengantar
Redaksi Bayt al-Hikmah Institute:
Kesimpulan
sementara Harry Truman Simanjuntak, belumlah final. Mari kita
teiliti secara lebih komprehensive dan holistik oleh berbagai pakar dari
berbagai disiplin keilmuan. Karena jarak waktu yang sangat tua sekitar 13 ribu
tahun yang lalu, tentu saja penelusurannya tidaklah mudah, tapi selayaknya
temuan Santos, Oppenheimer dan Edwina Palmer, dijadikan acuan untuk diuji dan
dikembangkan lebih lanjut penelitiannya.
(Ahmad Yanuana Samantho)
Peneliti senior dari Pusat Arkeologi Nasional, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. (Ris) Harry Truman Simanjutak, membantah
anggapan bahwa Situs Gunung Padang di Cianjur (Jawa Barat) adalah bagian dari
Atlantis. Situs tersebut juga bukan merupakan piramida sebagaimana isu selama
ini. Harry yang berbicara pertama dalam acara “Rembuk Arkeologi Situs Gunung
Padang” Kamis, 29 Maret 2012 lalu, membawakan paparan berjudul “Piramida Jawa
Barat dan Peradaban Atlantis Sundaland Itu Tidak Ada”. Menurutnya, Gunung
Padang hanya merupakan sebagian kecil dari besarnya isu ‘piramida dan atlantis’
yang tengah berkembang di masyarakat Indonesia. Kami sebagai peneliti berusaha
merespon isu-isu tersebut. Dalam beberapa kesempatan, kami sudah sering
menyampaikan pandangan, baik melalui media, seminar, bahkan memberikan
masukan-masukan tentang apa maksud pesan di balik piramida dan peradaban
atlantis tersebut.
Pusat Arkeologi Nasional, lanjut Harry,
sudah melakukan penelitian di seluruh pelosok Nusantara selama puluhan tahun.
“Kami melihat tidak sekalipun ada informasi mengenai piramida dan peradaban atlantis
di Nusantara,” katanya. Jika bicara tentang piramida dan atlantis, maka kita
bicara tentang peradaban. Sejak manusia pertama ada, yaitu mencari makan dengan
berburu dan meramu, kemudian berkembang. Akhirnya manusia hidup menetap untuk
saling bekerja sama. Kondisi tersebut memerlukan pranata sosial dan seorang
pemimpin.
Sementara itu kebudayaan tingkat peradaban memerlihatkan adanya
stratifikasi sosial, perdagangan, metalurgi, bangunan arsitektur, sistem
penulisan, kerajinan tangan, transportasi, kalender, militer, dan lain-lain.
Tentu saja tidak semua ciri harus ada dalam suatu peradaban. Peradaban tertua,
menurut Harry, terdapat dalam berbagai suku bangsa, Mesopotamia (3500-1800 SM),
Minoan di Pulau Kreta (2.600-1.100 SM), Mesir (2.572-2.134 SM), Indus
(2.500-1.700 SM), dan Longshan (2.500-1.900 SM). Di Nusantara peradaban tertua
berasal dari sekitar 5.000 tahun yang lalu (3.000 SM). Dalam bukunya, Plato
menulis bahwa terdapat peradaban tertua yang berasal dari 11.600 tahun yang
lalu yang disebut atlantis. Dia mengatakan di Samudera Atlantik terdapat sebuah
pulau yang berada di depan pilar-pilar Hercules. Pulau tersebut merupakan
jembatan ke benua-benua lain. Plato juga banyak mengungkap deskripsi kultural.
Atlantis dikatakan induk dari seluruh kebudayaan di dunia. Gambarannya indah
sekali, penuh logika dan rasional. Di bagian penutup dia mengatakan, “Penduduk
berbudi luhur, namun sombong, iri hati, sehingga lambat laun ditimpa
bencana”.Plato sendiri hidup pada masa 427-347 SM.
Pendapat Plato itu membuat banyak peneliti berlomba-lomba mencari
keberadaan Atlantis. Banyak buku telah dihasilkan para Atlantologi. Yang
populer di Indonesia adalah karya Prof. Arysio Santos. Dia mengatakan bahwa
Atlantis ada di Indonesia, tepatnya di Tanah Sunda. Santos adalah seorang
geolog dan pakar fisika nuklir dari Brasil. Menurut Harry, kesimpulan Santos
tidak tepat karena peradaban moderen di daerah tersebut baru muncul 6.000 tahun
yang lalu. Sebaliknya, Santos masih berpegang pada 11.600 tahun lalu. Pada era
tersebut, peradaban manusia masih pada fase Mesolitikum. Pada masa ini
peralatan yang digunakan masih terbuat dari batu seadanya. Memasuki 8.500 tahun
lalu muncul masa Neolitikum, tetapi tetap belum bisa dibilang maju.
Di Indonesia keberadaan peradaban maju baru masuk sekitar 4.000
tahun lalu. Tiga penanda utamanya adalah temuan kubur tempayan, bangunan
megalitik, dan pengaruh budaya Dongson. Bangunan megalitik sendiri berkembang
pada awal Masehi hingga masa sejarah. Disayangkan Harry, penelitian Santos
hanya melalui pendekatan mitos, naskah, dan tradisi kuno. Santos pun hanya
melakukan kajian geologi, paleogeografi, dan paleo-iklim tanpa melibatkan
arkeologi. Memang, Santos menyinggung temuan arkeologi tapi dia tidak
menyebutkan ujud artefak tersebut secara spesifik. Yang jelas, kata Harry,
Situs Gunung Padang tidak punya kaitan dengan piramida. Bahkan, arkeologi tidak
memiliki data dan fakta tentang hal itu.
Menurut Harry, isu piramida Jawa Barat mirip dengan isu sejenis di
Bosnia pada 2005. Ternyata para pakar di seluruh dunia menentang adanya
piramida tersebut. “Di Nusantara betapa banyak gunung yang berbentuk persis
seperti piramida, misalnya Gunung Sewu atau beberapa gunung di Indonesia Timur.
Jika ada kesamaan tipologi, bukan lantas gunung-gunung tersebut adalah bangunan
piramida,” jelas Harry. Data arkeologi regional, jelasnya lagi, tidak mengenal
adanya ruang di bawah bangunan megalitik. Dalam penutupnya Harry mengatakan,
“Kita ingin Atlantis dan Piramida itu ada, namun kita tidak ingin mengada-ada,
karena memang tidak ada”.
Geolistrik dan georadar
Sebelumnya, Tim
Bencana Katastropik Purba (BKP) memerkirakan Situs Gunung Padang dibangun
sekitar 5.500 tahun SM hingga 10.000 tahun SM. Dengan demikian umur situs
tersebut lebih tua daripada piramida di Mesir (2.560 SM) dan situs Machu Picchu
di Peru (1.440 SM). Tarikh situs menggunakan pertanggalan radio karbon (C-14
carbon dating) pada contoh tanah dari dua titik pengeboran. Staf Khusus
Presiden Bidang Sosial dan Bencana, Andi Arief, pernah mengungkapkan bahwa
Situs Megalitikum Gunung Padang merupakan suatu temuan besar, kemungkinan
adanya peradaban manusia di dunia.
Berdasarkan hasil tes pemetaan geologis, georadar, geolistrik, uji
sampling, maupun pengeboran, hipotesis awal menyebutkan bahwa di bawah gundukan
batu punden berundak di Gunung Padang itu sempat ada struktur peradaban.
“Kemungkinan pembuatan struktur Candi Borobudur pun dulunya belajar dari Situs
Gunung Padang,” kata Andi seusai melakukan ekspose penelitian Tim BKP Situs
Gunung Padang di Pendopo Kabupaten Cianjur, awal Maret 2012 lalu, sebagaimana
diberitakan sejumlah media. Penentuan umur Situs Gunung Padang berdasarkan dari
dua pertanggalan yang dilakukan tim, yakni pertanggalan radio karbon persis di
bawah situs pada kedalaman empat meter (menghasilkan tarikh 5.000-an SM) dan
dari kedalaman delapan meter (10.000-an SM). Namun menurut tim tersebut, hasil
penelitian carbon dating yang dilakukan awal Maret 2012 lalu itu belum final,
karena masih berupa indikasi awal.
Menurut pertanggalan yang selama ini dipakai para ilmuwan,
diperkirakan batu-batu di Situs Gunung Padang berasal dari masa 9.000-4.000 SM,
sementara situsnya berasal dari periode 2.500-400 SM. Dalam rembuk tersebut,
Tim BKP diwakili oleh Danny Hilman Natawidjaja. Dia mengungkapkan, dasar
penelitiannya adalah pendapat Oppenheimer bahwa pada zaman sebelum 10.000 tahun
yang lalu, Nusantara sudah menjadi pusat peradaban.
Berdasarkan hasil pengeboran, Tim BKP menyimpulkan di Situs Gunung
Padang secara umum terlihat adanya bentukan-bentukan. Kemungkinan di dalamnya
terdapat air atau logam. Bentukan tersebut berada di kedalaman 3-5 meter.
Bahkan terdapat reflektor yang sangat kuat di seluruh area situs dengan
ketebalan seragam. Di bawah situs terdapat batu andesit seperti dilumuri
lempung. Diperkirakan batu-batu itu merupakan struktur buatan manusia. Struktur
tersebut ditemukan sampai kedalaman 15 meter. Namun mulai 17 meter, andesit
menjadi masif, bahkan sudah ada air. Struktur dinding kolam andesit ditata
berdiri miring. Di selatan teras kelima, ada tanah timbunan. Ada juga rongga
berisi pasir seperti diayak. Pasir halus ini mengandung karbon.
Sumbat gunung purba
Sementara itu, peneliti dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Prof. Sutikno Bronto, mengatakan Gunung Padang adalah leher atau
sumbat lava di dalam kawah gunung api purba, berstruktur kekar kolom yang sudah
roboh berserakan. Setelah itu ditata oleh manusia menjadi punden berundak yang
digunakan sebagai lokasi pemujaan. Namun karena hal-hal tertentu, mungkin
longsor atau gempa bumi, ditelantarkan hingga bertahun-tahun. Menurut Sutikno,
kekar kolom itu dihasilkan dari sedimentasi muntahan gunung purba Karya Mukti,
yang menjadi asal-muasal Gunung Padang. Setiap kali Gunung Karya Mukti
memuntahkan lahar, ada yang menumpuk di bibir kawahnya dan lama kelamaan
berbentuk seperti menara.
Arkeolog Dr.
Daud Aris Tanudirdjo mengatakan riset yang dilakukan Oppenheimer, sebagaimana
dasar Tim BKP, merupakan isu lama. Lagi pula Oppenheimer tidak menjelaskan
fenomena yang terjadi. Dalam pertemuan di Taiwan, teori Oppenheimer banyak
mendapat tentangan dari para pakar. Sebenarnya, menurut Daud, di Manggarai
(NTT) ada situs sejenis dengan Situs Gunung Padang, tapi tidak pernah
diekspose. Situs tersebut terdiri atas susunan batu yang tertata. Situs
tersebut juga berdiri di atas sumbat gunung api sehingga bertarikh relatif
baru.
Tentang
penggunaan teknologi deteksi bawah tanah, Daud mengatakan belum tentu sesuai
harapan. Dia mencontohkan penelitian tentang peradaban Maya di Guatemala.
Menurut deteksi, ada ruang sekitar 8 m x 2 m pada kedalaman 10 meter. Ternyata
setelah digali sedalam 12 meter, ruang yang dimaksud tidak ditemukan. “Mengacu
pada pengalaman itu, kita sangat menghargai upaya penggunaan teknologi karena
membantu penelitian arkeologi, tetapi hasil deteksi alat belum tentu sepenuhnya
benar,” kata Daud.
Di Australia
pernah terjadi cara pengambilan sampel tanah dianggap tidak benar. Akibatnya
suatu situs diperkirakan berasal dari 5.000 ribu tahun yang lalu. Ternyata
setelah di cek ulang, hanya bertarikh 3.000 tahun yang lalu. Contoh lain yang
diberikan Daud adalah Candi Borobudur. Candi ini dibangun di atas bukit asli
dan bukit tambahan. Sudah jelas ada lapisan alamiah dan lapisan olahan sehingga
pertanggalannya berbeda.
Jadi, menurut
Daud, terlalu awal untuk menyatakan keberadaan piramida di dalam Gunung Padang.
Pemakaian bor oleh Tim BKP pun patut diragukan. Soalnya, belum diketahui apakah
karbon itu terkait betul dengan bangunannya atau tidak.
Isu piramida
justru menjadi berkah bagi pariwisata Cianjur, sebagaimana dikemukakan Kepala
Disbudpar Kabupaten Cianjur, H. Himam Haris. Sebelum 2009, pengunjung hanya
berjumlah 100-200 orang per minggu. Namun sekarang mencapai 2.000 orang per
minggu, sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Pimpinan
Turangga Seta, Agung Bimo Sutejo, juga diberikan kesempatan berbicara. Agung
yakin di Nusantara banyak bertebaran piramida. “Candi Sukuh dan Cetho adalah
buktinya,” kata dia.
Rembuk
arkeologi tersebut tidak menghasilkan kesimpulan. Namun panitia
merekomendasikan agar dibentuk satu tim yang terdiri atas berbagai pihak yang
saling berkoordinasi.